Pakaian turut membentuk kesejarahan identitas, iman, politik, intelektualitas, birokrasi. Sejarah itu bergerak dengan adonan keselarasan, kejanggalan, kesemuan, kekakuan, keluwesan. Pakaian di tubuh mengartikan orang ”mengenakan” kejatidirian mengacu status sosial, simbol profesi, ekspresi agama, rujukan ideologis.
Diri dan pakaian ada dalam pembingkaian material, representasi, imaji. Pakaian mirip hamparan semiotik untuk mengucapkan kejatidirian pemakai melalui prosedur resepsi tafsiran. Kesejarahan pakaian pernah menguak resistensi atas diskriminasi kolonial dan realisasi politik identitas pribumi.
Sarekat Islam (1912) sebagai gerakan politik massa modern melakukan agenda pengucapan identitas melalui pakaian. Pengucapan ini ditunggangi misi ”mengejek” laku birokrasi kolonial feodal dan seruan egalitarianisme. Pakaian adalah propraganda. Korver dalamSarekat Islam: Gerakan Ratu Adil (1985) menjelaskan bahwa mengenakan pakaian Eropa bagi kalangan Sarekat Islam menjadi tindakan politis: menentang tata cara penghormatan Eropa.
Diri dan pakaian ada dalam pembingkaian material, representasi, imaji. Pakaian mirip hamparan semiotik untuk mengucapkan kejatidirian pemakai melalui prosedur resepsi tafsiran. Kesejarahan pakaian pernah menguak resistensi atas diskriminasi kolonial dan realisasi politik identitas pribumi.
Sarekat Islam (1912) sebagai gerakan politik massa modern melakukan agenda pengucapan identitas melalui pakaian. Pengucapan ini ditunggangi misi ”mengejek” laku birokrasi kolonial feodal dan seruan egalitarianisme. Pakaian adalah propraganda. Korver dalamSarekat Islam: Gerakan Ratu Adil (1985) menjelaskan bahwa mengenakan pakaian Eropa bagi kalangan Sarekat Islam menjadi tindakan politis: menentang tata cara penghormatan Eropa.
Birokrasi di Jawa awal abad XX memang masih memakai praktik penghormatan dengan cara jongkok, merangkak, duduk di tanah. Semua posisi tubuh ini disahkan pengenaan model pakaian tradisional (Jawa). Sarekat Islam (SI) menganjurkan agar pribumi mau mengenakan pakaian Eropa sebagai lambang sikap hidup modern dan rasional.
Model celana panjang, baju, sepatu dan peci bakal mengondisikan tubuh untuk pantas berdiri atau duduk di kursi dalam relasi kerja di birokrasi. Pakaian bisa meruntuhkan hierarki status birokrasi dan ”melumerkan” diskriminasi identitas. Propaganda ala SI ini kesengajaan demi menuai efek politik-kultural di Jawa.
Seruan masif dilancarkan SI melalui edisi Sinar Djawa (1914). Ada pesan politis dan satire bahwa mengenakan pakaian Eropa dimaksudkan agar ”para bupati jadi mati ketakutan.” SI di Surabaya malah mengedarkan aturan keras bahwa kalangan SI saat melakukan pertemuan atau rapat di gedung modern dilarang duduk di bawah. Mereka dianjurkan duduk di kursi. Mereka pun diharuskan memakai celana panjang, sepatu, peci.
Pelanggaran atas anjuran dan keharusan itu bakal diganjar denda atau sanksi (etik). Propaganda pakaian ala SI menimbulkan kontroversi dan konflik antara para penguasa kolonial atau lokal dengan kalangan rakyat. Konflik ini justru mengartikan progresivitas politik SI untuk menggerakkan rakyat menampik dominasi kolonialisme feodalisme.
Modernisasi pakaian untuk melawan penghormatan birokrasi itu merupakan jejak prestisius dari ikhtiar pendefinisian pejabat, kerja, kelas sosial. Kesejarahan ini bisa jadi refleksi atas kebijakan pakaian di kalangan birokrasi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Pakaian adalah definisi mengandung imaji jabatan, gaji, harga diri.
Negara memberi imperatif pakaian demi mengolah misi ideologis berkaitan revolusi, kepribadian, nasionalisme, pancasilais. Imperatif ini menghendaki kepatuhan dan ”proteksi” kuasa politik di mata rakyat. Pakaian dihadirkan untuk mencipta ketertiban dan kontrol.
Agenda ini ada di seberang pamrih SI saat mempropagandakan pakaian modern (Eropa) sebagai resistensi birokrasi. Rezim Orde Lama dan Orde Baru justru mengumbar legitimasi birokrasi melalui pakaian. Rakyat saat memandang pakaian kalangan birokrasi lekas mendapati ”sihir” untuk melakukan penghormatan atas nama ”ketakutan”, ”kerikuhan,” ”kepatuhan”. Rakyat seolah kalah saat silau imaji pakaian birokrasi.
Cipto Mangunkusumo justru meruntuhkan arogansi elitisme profesi di mata rakyat. Cipto Mangunkusumo saat membuka praktik pengobatan di Solo (1910-an) juga mengidentifikasi identitas diri dengan pakaian ala Jawa. Cipto menolak mengenakan pakaian dokter Jawa resmi versi pemerintah kolonial. Cipto memilih mengenakan lurik dan blangkon. Penampilan ini tipikal Jawa kerakyatan.
Jenis pakaian menentukan martabat tanpa harus meninggikan diri secara artifisial dan angkuh. Pakaian telah mengartikan Cipto Mangunkusumo sebagai orang Jawa. Pakaian sebagai adab material-simbolik menggenapi kejawaan Cipto dalam menerapkan tanda tangan beraksara Jawa sebagai ”pakaian” batiniah (M Balfas, Dr Tjipto Mangunkusumo: Demokrat Sedjati, 1952).
Antologi Makna
Pakaian memang mengandung antologi makna di zaman bergerak. Kemunculan elite terpelajar, kaum pergerakan, birokrasi modern telah menggerakkan makna pakaian. Birokrasi memang membedakan diri dengan pakaian tapi ”berlumuran” pesan-pesan politis ala kolonial. Kondisi ini adalah konsekuensi modernisasi di Jawa. Pakaian di kalangan birokrasi mengejawantahkan ketertiban dan kontrol.
Ideologisasi pakaian pun menguak afirmasi dan negasi kaum pribumi atas agenda pembaratan alias kemadjoean. Jejak-jejak lama itu terus dilanjutkan oleh rezim-rezim kekuasaan dengan berbagai pamrih. Pakaian lekas eksplisit mengumbar pesan politik ketimbang merepresentasikan geliat identitas kultural. Semua itu memusat dalam dramaturgi birokrasi melalui pakaian-pakaian seragam.
Kebijakan Pemerintah Kota Solo agar kalangan pegawai mengenakan pakaian ala Jawa setiap hari Kamis seolah mengesankan ada misi identitas-kultural. Kejawaan ingin diwartakan dengan pakaian kendati cenderung meladeni ”tatapan mata” ketimbang “tatapan batiniah”. Kejawaan di pakaian secara lahiriah belum tentu menjamin kejawaan batiniah atau kejatidirian.
Filosofi Jawa mungkin berceceran saat selebrasi kejawaan dengan pakaian sekadar bukti ketertiban dan kontrol atas nama politik. Pakaian sebagai representasi identitas, tata krama, adab bisa lekas bias saat kalangan birokrasi memilih mengartikan pakaian sekadar ”seragam” demi menuruti aturan.
Mentalitas birokrasi dalam memaknai pakaian itu mirip lelakon seragam ala Orde Baru. Sekimoto (2005) dalam kajian atas relasi pakaian seragam dan eksistensi Orde Baru membuktikan bahwa mengenakan seragam merupakan cara atau tindakan alat negara (birokrasi) untuk membedakan diri dari massa (rakyat). Pakaian itu jadi pembuktian diri bahwa birokrasi memiliki peran di dalam cara berpikir negara dan bangsa.
Pakaian seragam cenderung mengartikulasikan pamrih negara. Memori pakaian ala Orde Baru masih bersambung saat publik melihat kalangan birokrasi rajin berganti pakaian setiap hari tapi tak sanggup mengejawantahkan misi pengabdian untuk rakyat.
Kebijakan mengenakan pakaian Jawa di lingkungan pemerintahan di Solo (2012) mungkin pantas jadi pembuktian makna pakaian di tegangan politik dan identitas kultural. Pilihan ini mengingatkan publik dengan kebijakan Ismail selaku Gubernur Jawa Tengah (1980-an) saat menginstruksikan bagi kalangan birokrasi agar mengenakan kemeja lurik sebagai representasi (semu) kerakyatan.
Kebijakan itu sekejap tanpa mengalirkan pesan-pesan kultural. Pakaian memang rentan sebagai ungkapan politis ketimbang semaian kejawaaan. Pakaian justru kerap selesai di tatapan mata ketimbang ”undangan” tafsiran untuk mencari makna identitas-kultural Jawa. Begitu.
Pakaian memang mengandung antologi makna di zaman bergerak. Kemunculan elite terpelajar, kaum pergerakan, birokrasi modern telah menggerakkan makna pakaian. Birokrasi memang membedakan diri dengan pakaian tapi ”berlumuran” pesan-pesan politis ala kolonial. Kondisi ini adalah konsekuensi modernisasi di Jawa. Pakaian di kalangan birokrasi mengejawantahkan ketertiban dan kontrol.
Ideologisasi pakaian pun menguak afirmasi dan negasi kaum pribumi atas agenda pembaratan alias kemadjoean. Jejak-jejak lama itu terus dilanjutkan oleh rezim-rezim kekuasaan dengan berbagai pamrih. Pakaian lekas eksplisit mengumbar pesan politik ketimbang merepresentasikan geliat identitas kultural. Semua itu memusat dalam dramaturgi birokrasi melalui pakaian-pakaian seragam.
Kebijakan Pemerintah Kota Solo agar kalangan pegawai mengenakan pakaian ala Jawa setiap hari Kamis seolah mengesankan ada misi identitas-kultural. Kejawaan ingin diwartakan dengan pakaian kendati cenderung meladeni ”tatapan mata” ketimbang “tatapan batiniah”. Kejawaan di pakaian secara lahiriah belum tentu menjamin kejawaan batiniah atau kejatidirian.
Filosofi Jawa mungkin berceceran saat selebrasi kejawaan dengan pakaian sekadar bukti ketertiban dan kontrol atas nama politik. Pakaian sebagai representasi identitas, tata krama, adab bisa lekas bias saat kalangan birokrasi memilih mengartikan pakaian sekadar ”seragam” demi menuruti aturan.
Mentalitas birokrasi dalam memaknai pakaian itu mirip lelakon seragam ala Orde Baru. Sekimoto (2005) dalam kajian atas relasi pakaian seragam dan eksistensi Orde Baru membuktikan bahwa mengenakan seragam merupakan cara atau tindakan alat negara (birokrasi) untuk membedakan diri dari massa (rakyat). Pakaian itu jadi pembuktian diri bahwa birokrasi memiliki peran di dalam cara berpikir negara dan bangsa.
Pakaian seragam cenderung mengartikulasikan pamrih negara. Memori pakaian ala Orde Baru masih bersambung saat publik melihat kalangan birokrasi rajin berganti pakaian setiap hari tapi tak sanggup mengejawantahkan misi pengabdian untuk rakyat.
Kebijakan mengenakan pakaian Jawa di lingkungan pemerintahan di Solo (2012) mungkin pantas jadi pembuktian makna pakaian di tegangan politik dan identitas kultural. Pilihan ini mengingatkan publik dengan kebijakan Ismail selaku Gubernur Jawa Tengah (1980-an) saat menginstruksikan bagi kalangan birokrasi agar mengenakan kemeja lurik sebagai representasi (semu) kerakyatan.
Kebijakan itu sekejap tanpa mengalirkan pesan-pesan kultural. Pakaian memang rentan sebagai ungkapan politis ketimbang semaian kejawaaan. Pakaian justru kerap selesai di tatapan mata ketimbang ”undangan” tafsiran untuk mencari makna identitas-kultural Jawa. Begitu.
Sumber : Solopos, 18 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar