Minggu, 19 Februari 2012

Klakson Dan Kita


Mungkin banyak di antara kita yang pernah berkendara di belakang truk yang melaju pelan. Kita terburu-buru namun harus rela menunggu. Bagi yang terburu-buru, pasti mencari celah untuk melewati truk yang seolah terseok-seok kelebihan muatan. Meski tombol klakson kita tekan berkali-kali, si sopir truk tetap bergeming. Laju truk tetap merayap, tak peduli.
Kita makin dongkol sembari harus rela menarik bibir ke samping, tersenyum kecut, manakala di bak belakang truk tertulis kalimat:Ra sabar mabura (kalau tidak sabar terbanglah-red). Jadi meski klakson kita pencet keras-keras dan berlama-lama, hasilnya sama saja. Kita pun tidak berubah bisa terbang. Jadi, klakson tidak menyelesaikan masalah.
Klakson juga kita pencet dengan gembira saat berpapasan dengan kawan atau sahabat di jalan. Kalau perlu tangan kita ikut melambai. Artinya, itu klakson sapaan. Kalau tidak membunyikan klakson, mungkin kita akan dituduh sombong. Ada pula kawan yang punya kebiasaan aneh, suka memencet klakson tiga kali setiap melewati tempat tertentu yang dianggapnya keramat, atau ketika melintasi daerah permakaman.
”Ini uluk salam,” katanya.
”Kepada siapa?” tanya saya.
”Pokoknya begitu,” ujarnya.
Baiklah, itu namanya klakson mitos. Jadi, dimitoskan oleh orang-orang kurang kerjaan yang percaya takhayul bahwa memencet klakson diperlukan saat kita melintasi wilayah tertentu.

Sabtu, 18 Februari 2012

Mencari Jawa Di Pakaian Dan Birokrasi


Pakaian turut membentuk kesejarahan identitas, iman, politik, intelektualitas, birokrasi. Sejarah itu bergerak dengan adonan keselarasan, kejanggalan, kesemuan, kekakuan, keluwesan. Pakaian di tubuh mengartikan orang ”mengenakan” kejatidirian mengacu status sosial, simbol profesi, ekspresi agama, rujukan ideologis.
Diri dan pakaian ada dalam pembingkaian material, representasi, imaji. Pakaian mirip hamparan semiotik untuk mengucapkan kejatidirian pemakai melalui prosedur resepsi tafsiran. Kesejarahan pakaian pernah menguak resistensi atas diskriminasi kolonial dan realisasi politik identitas pribumi.
Sarekat Islam (1912) sebagai gerakan politik massa modern melakukan agenda pengucapan identitas melalui pakaian. Pengucapan ini ditunggangi misi ”mengejek” laku birokrasi kolonial feodal dan seruan egalitarianisme. Pakaian adalah propraganda. Korver dalamSarekat Islam: Gerakan Ratu Adil (1985) menjelaskan bahwa mengenakan pakaian Eropa bagi kalangan Sarekat Islam menjadi tindakan politis: menentang tata cara penghormatan Eropa.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...